Jurnalkaltim.com – Kemarau yang mengakibatkan Waduk Gajah Mungkur (WGM) di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah mengering telah mengungkap sisi sejarah yang lama tersembunyi. Makam-makam kuno dengan batu kijing putih mulai bermunculan, menjadi bukti permukiman warga di masa lalu.
Dari tulisan yang masih terbaca di salah satu kijing, tertera ‘KASUMAWI JUMAT KLIWON 16.7.71’, sementara kijing lainnya menampilkan aksara Jawa dengan tahun 1957. Bukti-bukti ini menunjukkan keberadaan pemukiman sebelum pembangunan WGM pada 1978.
Waduk Gajah Mungkur Kemarau: Makam dengan Batu Kijing Putih Jadi Saksi Sejarah
Makam yang kini terlihat di permukaan, sebagian besar dilengkapi dengan kijing berwarna putih, batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisannya. Terbuat dari pualam, tegel, atau semen, kijing ini merupakan identitas khas makam di daerah tersebut.
Di kompleks makam di Lingkungan Jaban, Kelurahan Wuryantoro, banyak kijing yang menampilkan nama dan tahun meninggal, meski sebagian besar sudah sulit terbaca karena usia dan erosi.

Sumber : Joglosemarnews
Menurut sejarawan lokal, Dennys Pradita dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Wonogiri, daerah Wonogiri bagian selatan dulu kaya dengan batuan kapur. Batu tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk bangunan rumah tetapi juga sebagai material utama kijing. “Pada periode 1970-an, batuan kapur banyak dimanfaatkan warga. Biasanya memang kijing menggunakan batu putih, batuan kapur,” jelas Dennys.
Keberadaan makam ini memberikan petunjuk penting tentang sejarah dan budaya masyarakat Wonogiri di masa lalu, sebelum relokasi besar-besaran yang mengakibatkan pemindahan sekitar 41.000 warga dari 45 desa di 6 kecamatan ketika WGM mulai dibangun.
Kompleks makam ini sekarang dapat dikunjungi oleh para peneliti, sejarawan, atau pengunjung yang tertarik dengan sejarah lokal. Dengan jarak sekitar 200 meter dari jalan perkampungan, saat air waduk surut, pengunjung dapat dengan mudah mengakses area tersebut dengan sepeda motor.
Pengungkapan makam ini tidak hanya menarik perhatian para sejarawan, tetapi juga mengajarkan kita tentang pentingnya melestarikan sejarah dan budaya lokal dalam menghadapi perubahan infrastruktur dan lingkungan.
Sejarah Waduk Gajah Mungkur: Pengorbanan, Kemajuan, dan Kenangan
Waduk Gajah Mungkur, yang terletak di Kabupaten Wonogiri, tak sekadar menjadi bendungan biasa bagi warga setempat. Ia menjadi saksi bisu perubahan signifikan yang menggambarkan perjuangan, pengorbanan, serta harapan yang terjalin dalam proses pembangunannya.
Diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 17 November 1981, pembangunan waduk ini dimulai tujuh tahun sebelumnya, yaitu pada 1974. Tujuan utama dari proyek besar ini adalah sebagai bagian dari Proyek Bengawan Solo yang bertujuan untuk mengendalikan banjir yang seringkali merusak daerah sekitarnya. Dengan kemampuan ini, aliran sungai Bengawan Solo diharapkan dapat lebih dimanfaatkan.
Namun, dibalik kemegahannya, ada cerita pengorbanan dari ribuan keluarga. Tidak kurang dari 51 desa harus ditenggelamkan untuk membangun waduk tersebut, memaksa lebih dari 13.000 kepala keluarga untuk meninggalkan tanah dan sawah mereka yang akan tergenang. Sebagian besar dari mereka memutuskan untuk transmigrasi ke Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Presiden Soeharto sendiri, saat peresmian, mengakui besar pengorbanan masyarakat Wonogiri dalam penyelesaian waduk ini.
Pembangunan Waduk Gajah Mungkur melibatkan hampir 2.800 pekerja, dengan 35 ahli dari Jepang yang bertindak sebagai penasihat. Biayanya mencapai Rp 55 miliar, dengan kontribusi besar dari APBN dan bantuan Pemerintah Jepang.
Dari segi teknis, Waduk Gajah Mungkur dirancang untuk bertahan selama 100 tahun. Dengan daya tampung mencapai 750 juta meter kubik air, waduk ini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Tidak hanya sebagai infrastruktur pendukung, Waduk Gajah Mungkur pun berkembang menjadi destinasi wisata ikonik di Wonogiri, dilengkapi dengan kebun binatang mini dan waterboom.
Meskipun demikian, kenangan atas tanah yang pernah mereka huni tetap hidup dalam ingatan warga. Darti, salah satu warga Desa Pondok Sari yang kini tenggelam, memiliki banyak kenangan tentang bagaimana kondisi desanya sebelum menjadi dasar waduk. Dalam ceritanya kepada Kompas.com, ia mengingat betul akses jalan utama, sungai besar Sungai Tempuran, hingga rumah makan Bu Darso yang menjadi tempat istirahat para pedagang.
Yang mengejutkan, Darti juga mengingat bahwa Presiden Soeharto pernah tinggal di desa tersebut semasa kecil sebelum akhirnya pindah ke lokasi yang kini menjadi Museum Wayang Indonesia.
Sejarah Waduk Gajah Mungkur mencerminkan bagaimana perjuangan dan pengorbanan dapat membentuk masa depan yang lebih baik, namun juga mengajarkan kita pentingnya menghargai dan mengingat asal-usul serta kenangan masa lalu.