
Kalimantan Timur, JURNALKALTIM.com – Indonesia sedang mengalami kondisi cuaca yang ekstrem, yang merupakan hasil dari peristiwa cuaca El Nino. Hal ini turut berdampak pada cuaca panas di Kalimantan Timur. Tiga kabupaten dan satu kota di wilayah Kaltim dikategorikan sebagai daerah yang berisiko terhadap ancaman bencana kekeringan dan kebakaran hutan selama musim kemarau ini, demikian diungkapkan oleh Agus Tianur, yang menjabat sebagai Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kaltim (BPBD Provinsi Kalimantan Timur). Daerah-daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Paser, dan juga Kota Bontang.
Cuaca Normal Melanda Mahakam Ulu
“Dari utara hingga selatan, wilayah-wilayah tersebut memiliki potensi risiko. Seperti contohnya Berau, Kutim, Bontang, dan Paser,” ungkap Agus Tianur seusai Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan Bencana Kekeringan, Kebakaran Hutan dan Lahan pada Rabu, tanggal 9 Agustus 2023 di Hotel Harris, Kota Samarinda.
Agus turut mengungkapkan bahwa kekeringan dan kebakaran hutan saat ini terjadi akibat rendahnya curah hujan. Hal ini menurutnya dapat mengakibatkan peningkatan jumlah titik api dan berdampak pada potensi terjadinya bencana. Walaupun demikian, Agus menjelaskan bahwa tindakan pencegahan telah diambil untuk mengurangi dampaknya.
Lebih rinci, Agus menjelaskan bahwa kondisi anomali terjadi di Kabupaten Mahakam Ulu, terutama pada perbatasan antara Kalimantan Utara dan Malaysia. “Di daerah tersebut, curah hujan masih normal. Namun, karena sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan tidak ada lahan pertanian, dampak kekeringannya tidak terlalu terasa,” kata Agus.
El Nino Serta Proses Terbentuknya
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino adalah fenomena peningkatan Suhu Muka Laut (SML) di atas tingkat normal yang terjadi di bagian tengah hingga timur Samudera Pasifik.
Pada dasarnya fenomena ini muncul akibat perubahan dalam pola Sirkulasi Walker yang mengalami kelainan arah. Pada kondisi normal, Sirkulasi Walker di wilayah Indonesia bergerak ke arah konvergen (naik), yang berkontribusi pada peningkatan potensi perkembangan awan konvektif yang menghasilkan hujan.
Perubahan pola Sirkulasi Walker yang mengalih secara sejajar dengan garis khatulistiwa akan melemahkan angin pasat timur. Akibatnya, di area Indonesia, Sirkulasi Walker cenderung menjadi subsiden (turun), dampaknya adalah penurunan peluang perkembangan awan konvektif, yang mengakibatkan berkurangnya curah hujan.
BMKG turut menjelaskan bahwa El Nino memiliki efek yang beraneka ragam dalam skala global. Di beberapa negara di Amerika Latin, seperti Peru, saat El Nino terjadi, dapat menyebabkan peningkatan curah hujan di daerah tersebut. Namun, di Indonesia umumnya dampak dari El Nino adalah kondisi kekeringan dan berkurangnya hujan.
Namun, terlihat bahwa dampak dari El Nino pada tahun ini akan semakin parah akibat perubahan iklim yang tengah berlangsung. Fenomena ini juga akan berimbas pada musim kemarau yang lebih kering dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
El Nino Berbeda dengan La Nina
Tidak sama dengan El Nino, La Nina memiliki makna sebagai fenomena yang berlawanan dengan El Nino. Ketika terjadi La Nina, terjadi penurunan suhu Suhu Muka Laut (SML) di bagian tengah Samudera Pasifik di bawah nilai normal.
Dalam hal dampaknya, penurunan suhu SML yang terjadi pada saat La Nina dapat mengurangi peluang pertumbuhan awan di wilayah tengah Samudera Pasifik dan meningkatkan jumlah curah hujan di seluruh wilayah Indonesia. Sementara El Nino bisa memicu kemunculan musim kemarau.