Kalimantan Timur, JurnalKaltim.com – Baru – baru ini, Negeri Sakura memutuskan kebijakan kontroversial yang menuai berbagai reaksi internasional. Perdana Menteri Fumio Kishida mengaku tindakan Jepang buang limbah nuklir akan segera dilaksanakan. Pembuangan air olahan radioaktif dimulai sejak hari Kamis kemarin dan memicu kemarahan dari berbagai organisasi kelautan dan negara – negara tetangga.
Keresahan Dipicu Tindakan Jepang Buang Limbah
Meskipun dideklarasikan aman oleh para expert dan pengawas nuklir dari PBB (Persatuan Bangsa – Bangsa), tetap muncul banyak kekhawatiran dari keputusan Jepang membuang air olahan limbah nuklir yang bersifat radioaktif ke Lautan Pasifik. Tak ayal, tindakan Jepang ini meningkatkan ketegangan diplomatik dengan berbagai negara yang kontra dengan keputusan tersebut.
Sebagai informasi, sampai saat ini musibah Daiichi Fukushima dijuluki sebagai musibah nuklir terparah setelah musibah nuklir Chernobyl. Musibah nuklir di negara matahari terbit ini dipicu oleh gempa hebat berkekuatan 9.0 skala Richter menyerang pesisir Jepang.

Gempa hebat ini menyebabkan terjadinya tsunami besar yang menghancurkan sistem pertahanan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Fukushima. Akibatnya, tidak hanya 18.000 orang meninggal dan 160.000 orang terpaksa dievakuasi, tiga reaktor nuklir di PLTN Fukushima pun meleleh dan kemudian mengeluarkan radiasi dalam jumlah besar. Ada 40.000 orang yang tak bisa kembali ke rumah karena bahaya radiasi.
Keputusan Jepang buang limbah sebenarnya sudah disetujui oleh komisi pengawas nuklir dari PBB sejak bulan Juli lalu. Meski menuai banyak kritik, penolakan dan kontra, pengawas nuklir PBB menilai air olahan radioaktif yang dibuang oleh Jepang bersifat aman dan sesuai ketentuan standar internasional. Lebih tepatnya, dampak radiologis dari limbah tersebut dapat diabaikan dampaknya terhadap kelangsungan hidup manusia dan kelestarian ekosistem. Berdasarkan kacamata para expert nuklir PBB, air olahan limbah nuklir dari Fukushima dinilai tidak akan berbahaya untuk lingkungan dan manusia.
Penting untuk diketahui, Jepang berencana untuk membuang lebih dari 1 juta metrik ton air olahan radioaktif ke Lautan Pasifik. Pemerintahan kabinet Kishida berargumen pelepasan air limbah dari PLTN Fukushima sangat vital untuk menonaktifkan PLTN Fukushima secara total. Namun tetap saja, banyak sekali pihak yang tetap skeptis dan tidak mempercayai hasil analisis expert nuklir dari PBB tersebut.
Reaksi Keras dari Tindakan Jepang Buang Limbah ke Lautan Pasifik
Saat ini, negara China menjadi negara tetangga yang paling vokal menyuarakan penolakan keputusan tersebut. Negara Tirai Bambu menyebut Jepang telah melanggar etika moral dan kewajiban hukum internasional. China juga menyebut keputusan ini sangat egois dan dianggap telah mengabaikan kepentingan dan keberlangsungan jangka panjang untuk umat manusia.
Reaksi keras ini timbul karena selama ini China adalah negara terbesar pembeli hasil laut Jepang. Saat Jepang mengumumkan rencana pembuangan limbah, China langsung melarang hasil laut Jepang masuk ke negara tersebut. China menyebutkan kekhawatiran mereka akan resiko kontaminasi radioaktif yang dikandung oleh produk – produk olahan laut dan juga hasil agrikultural negara Jepang.
Reaksi berbeda datang dari negara tetangga Jepang lainnya, Korea Selatan. Pemerintahan Korsel menyebutkan mereka akan menghormati hasil analisa dari IAEA (International Atomic Energy Agency) dan mendukung langkah yang diambil Jepang. Namun, keputusan pemerintahan Korsel ini justru menuai reaksi tidak setuju dan perlawanan keras dari rakyatnya. Menurut polling terakhir, 80% rakyat Korea Selatan merasa khawatir akan dampak dari pelepasan limbah olahan nuklir tersebut.
Sikap Tidak Setuju dari Rakyat Jepang
Penolakan tidak hanya datang dari pihak luar, persatuan nelayan dan organisasi pemerhati lingkungan dari negara Jepang sendiri pun menolak keputusan tersebut. Meskipun sudah diyakinkan oleh pemerintah, menurut survei yang diadakan oleh media Asahi Shimbun, 41% rakyat Jepang menolak keras keputusan Perdana Menteri Fumio Kishida.
Referensi : Forbes, Pacific Ocean From Thursday, Reuters, BBC