SAMARINDA, JURNALKALTIM.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta baru-baru ini mengusulkan kebijakan baru terkait penggunaan tiket berbasis akun atau account based ticketing (ABT) bagi moda transportasi umum, seperti Transjakarta, MRT, maupun LRT. Meski sudah berada di tahap uji coba, nampaknya program ini masih menimbulkan sejumlah polemik di tengah masyarakat, khususnya warga ibu kota terhadap resiko kebocoran data.
Tujuan Kebijakan Tiket Berbasis Akun

Sumber : Detiknews
Penerapan sistem account based ticketing (ABT) menimbulkan sejumlah pertanyaan bagi masyarakat. Apalagi, terkait fungsi dan manfaat dalam pemberlakuan kebijakan tersebut. Sebab, nantinya sistem ini akan meminta pengguna transportasi umum untuk memasukkan identitas berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) ke dalam sebuah aplikasi bernama JakLingko.
Diketahui, kebijakan ini hanya akan diberlakukan kepada masyarakat yang ber-KTP DKI Jakarta. Sementara untuk masyarakat non-KTP DKI, akan dikembalikan kepada peraturan pemerintah provinsi masing-masing.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyebut, penerapan tiket berbasis akun akan dilakukan kepada tiga moda transportasi umum. Diantaranya, Transjakarta, MRT, dan LRT. Lebih lanjut, Syafrin menyampaikan kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh upaya Pemprov DKI dalam mewujudkan subsidi angkutan umum yang tepat sasaran.
Disebutkan, saat ini subsidi transportasi umum masih diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat, baik KTP DKI maupun non-DKI. Untuk itu melalui sistem ABT, pemerintah akan mendapatkan profiling para pengguna sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan tarif transportasi, apakah layak mendapatkan subsidi atau sebaliknya.
“ABT tentu akan untuk 3 moda. Dari ABT ini kita akan mendapatkan profiling seluruh pengguna angkutan umum massal kita apakah TJ, MRT, dan LRT yang kemudian akan jadi perhitungan untuk efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pemberian kewajiban pelayanan publik (PSO) ke depannya,” kata Syafrin.
Sebagai informasi, saat ini tarif Transjakarta bersubsidi berada diangka Rp3500 ribu untuk satu kali perjalanan, baik jarak dekat (flat) maupun jarak jauh. Sedangkan untuk moda transportasi MRT berkisar antara Rp 3.000-14.000 ribu tergantung jarak tempuh. Sementara LRT berada diangka Rp5000 ribu untuk sekali perjalanan.
Di waktu yang berbeda, Direktur Utama PT Transjakarta, Welfizon Yuza turut menanggapi isu terkait kebijakan tiket berbasis akun. Ia mengungkapkan bahwa sistem tersebut akan diintegrasikan bersama data dari Disdukcapil sehingga tarif yang akan dikenakan diambil berdasarkan status ekonomi dan KTP domisili.
“Bisa jadi ada orang, X misalnya, dengan penghasilan sekian, dia harusnya mendapatkan tiket non-subsidi. Jadi kalau Transjakarta, misalnya biaya produksinya Rp 15 ribu, dia harus bayar Rp 15 ribu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dirut Transjakarta menyampaikan bahwa bagi keluarga prasejahtera akan mendapatkan diskon tarif hingga 15% atau bahkan gratis. Sedangkan untuk warga menengah ke bawah dengan KTP non-DKI akan mengikuti kebijakan dari pemprov masing-masing.
Sistem ABT Dinilai Diskriminatif
Usulan terkait penerapan sistem tiket berbasis akun dinilai memiliki aroma diskriminatif. Sebab, adanya aturan profiling bagi para penumpang. Bukan hanya menentukan tarif berdasarkan tingkat ekonomi pengguna, sistem ini juga mampu melacak riwayat perjalanan berdasarkan data yang akan terintegrasi dengan Disdukcapil.
Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan pun ikut menyoroti polemik yang terjadi sekarang ini. Menurutnya, sistem ABT bukan hanya menimbulkan aroma diskriminatif, melainkan turut memancing pro dan kontra dari masyarakat.
“Bukan hanya potensi menimbulkan pro-kontra, penerapan tiket dengan sistem akun dan tarifnya berdasarkan profil sangat tidak berdasar dan beraroma diskriminatif,” jelasnya.
Lebih lanjut, Edison menyebut pemberlakuan tiket berbasis akun ini justru akan meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Dimana, hal ini berbanding terbalik dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan peralihan moda transportasi pribadi ke moda transportasi umum.
“Tentu rencana itu tidak relevan dengan upaya agar masyarakat berpindah dari kendaraan peribadi untuk menggunakan transportasi angkutan umum maka ide atau rencana itu sebaiknya tidak dilakukan,” ungkapnya.
Resiko Kebocoran Data
Salah satu keresahan masyarakat terkait penerapan sistem tiket berbasis akun adalah adanya resiko kebocoran data, sebagaimana disampaikan oleh anggota DPRD DKI dari PKS, Abdul Aziz. Mengingat, sejumlah insiden kebocoran data yang terjadi akhir-akhir ini.
“Adanya risiko kebocoran data pengguna yang menyangkut data pribadi pengguna layanan transportasi,” ungkapnya, Sabtu (23/9/2023).
Diketahui, sebelumnya telah terjadi kasus peretasan yang disebabkan oleh akun hacker dengan nama anonim “RRR”. Akibat insiden ini, sebanyak 337 juta data dari Dukcapil Kemendagri berhasil dibobol. Adapun data-data tersebut terdiri dari nama lengkap, NIK, tanggal lahir, nomor akta lahir, golongan darah, agama, serta status pernikahan lengkap dengan nomor akta nikah, nomor akta cerai, tanggal nikah, dan tanggal cerai.
Selain itu, ada pula data pendidikan akhir, jenis pekerjaan, NIK ayah, NIK ibu, nama lengkap ayah, dan nama lengkap ibu. Hingga kini, kasus pembobolan tersebut masih berada di tahap penyelidikan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tengah mengancam keamanan masyarakat, terlebih dalam urusan perbankan.
Sementara itu, Direktur Utama PT Transjakarta Welfizon Yuza mengaku akan menjamin sistem keamanan para penumpang melalui sistem tiket berbasis akun, utamanya terkait identitas mereka. Sebab, pihaknya telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia termasuk persetujuan keamanan dan lain sebagainya.
“Termasuk dengan security system dan segala macamnya itu JLI sudah siapkan itu dan sudah mendapat izin dari BI dan segala macam, termasuk assessment security dan lain-lain itu mereka sudah dapatkan,” ungkapnya.