Kalimantan Timur, Jurnalkaltim.com – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur (Disnakertrans Kaltim) berkomitmen kuat dalam memastikan hak pekerja sawit terpenuhi. Mengingat pentingnya sektor ini bagi ekonomi lokal, Disnakertrans Kaltim intensif memantau peraturan perusahaan untuk memastikan keadilan dan keamanan bagi pekerja sawit.
Disnakertrans Kaltim Terus Mengawal Hak Pekerja Sawit
Sektor perkebunan kelapa sawit di Kaltim, yang dikenal dengan pekerjaan musiman dan penyerapan tenaga kerja berpendidikan rendah, memerlukan perhatian khusus. Oleh karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk membangun hubungan industrial yang kondusif dan harmonis di sektor ini.
Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Kaltim, Aris Munandar, mengungkapkan, “Kalau kita lihat kan sawit di Kaltim cukup besar ya, kita menjamin bagaimana perusahaan itu memiliki perangkatnya, hak-hak pekerja termasuk perlindungan mereka, peraturan perusahaan seperti perjanjian kerja bersama.”
Fokus utama Disnakertrans Kaltim adalah memastikan bahwa peraturan perusahaan harus mengedepankan hak-hak pekerja sawit agar lebih sejahtera, karena selama ini pekerja sawit masih kuat dengan isu pekerja anak dan praktik upah murah. Disnakertrans Kaltim juga menyoroti isu upah kerja lembur yang tidak dibayar, yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan PP 36/2021.
Selain itu, Disnakertrans Kaltim juga bertanggung jawab dalam proses perlindungan pekerja sawit setelah selesai kontrak kerja. Hal ini penting untuk mencegah diskriminasi terhadap pekerja dalam pemberian hak-haknya oleh perusahaan.
Dengan langkah-langkah ini, Disnakertrans Kaltim berharap dapat terus memperkuat posisi pekerja di sektor sawit, menjamin hak-hak mereka, dan memastikan lingkungan kerja yang aman dan adil bagi semua.
Dialog Pengusaha dan Buruh Untuk Memperkuat Hak Pekerja Sawit
Dalam perkembangan terbaru terkait hak pekerja sawit saat ini, terjadi sebuah dialog konstruktif antara pengusaha dan buruh kelapa sawit, yang diinisiasi oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Tujuan utama dari dialog ini adalah untuk mendukung perbaikan hak-hak pekerja di industri kelapa sawit.
Sumarjono Saragih, Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM, dalam sebuah keterangan resmi, menyatakan keterbukaan GAPKI terhadap masukan dari berbagai pihak. Hal Ini dianggap penting untuk mencari solusi bersama dalam mengatasi masalah yang dihadapi pengusaha dan buruh sawit.
Menurutnya, meskipun Indonesia dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan kontribusi besar pada devisa negara dan penciptaan lapangan kerja, industri ini juga menghadapi tantangan, termasuk praktik upah murah dan perlakuan tidak adil terhadap buruh.
Sumarjono juga mengingatkan tentang sejarah panjang kelapa sawit di Indonesia, yang dimulai pada tahun 1848 dan mulai berkembang sejak tahun 1911 di Aceh. Saat ini, dengan sekitar 16 juta hektar perkebunan, Indonesia telah menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Namun, ia mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diatasi oleh pengusaha, termasuk peningkatan pengawasan di 160 Kabupaten dimana perkebunan sawit tersebar.
Dari sisi buruh, Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS), Hotler Parsaoran, menyoroti ketidakkonsistenan data tentang jumlah buruh sawit. Menurutnya, data yang beragam dari berbagai sumber menyulitkan penentuan jumlah buruh yang sebenarnya.
Hotler juga menekankan masalah kontrak kerja yang belum jelas antara pengusaha dan buruh, yang berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dalam tanggung jawab pekerjaan.
Dialog antara pengusaha dan buruh ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam perbaikan hak-hak pekerja sawit, mengingat pentingnya sektor ini bagi perekonomian dan pembangunan Indonesia.
(NWL/ADV/DISNAKERTRANSKALTIM).