Samarinda, Jurnalkaltim.com – Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran terus meluas di berbagai penjuru Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur. Di Samarinda, sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Sungai Kunjang, Rabu (29/5/2024) pukul 10.00 WITA. Mereka menolak beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran yang dinilai bermasalah dan sedang digodok di DPR.
Para demonstran menilai revisi UU Penyiaran mengancam kebebasan jurnalis dalam pemberitaan dan membungkam kebebasan pers berekspresi, yang merupakan pilar utama demokrasi. Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan dan penolakan, di antaranya bahwa revisi UU Penyiaran akan menimbulkan tumpang tindih dengan regulasi lain dan memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media, yang mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah.
Gabungan jurnalis yang berunjuk rasa berpendapat, draf revisi tersebut bertentangan dengan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Revisi UU Penyiaran juga disebut akan membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media, karena melarang penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif, sehingga pers tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).
Para demonstran juga menyatakan bahwa RUU Penyiaran merupakan ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
“Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis,” tulis rilis pengunjuk rasa yang mengatasnamakan Aliansi Kemerdekaan Pers Kaltim.
Koordinator Lapangan Aliansi Kemerdekaan Pers Kaltim, Ibrahim Yusuf, mengaku kecewa terhadap anggota DPRD Kaltim yang tidak bisa mewadahi aspirasi mereka terkait penolakan revisi UU Penyiaran tersebut.
“Kami kecewa kepada wakil rakyat yang tidak bersepakat dan tidak setuju untuk memfasilitasi kita dalam menolak revisi undang-undang penyiaran,” serunya.
Sementara itu, Sekretaris IJTI Kaltim, Andi Aso, mengatakan bahwa revisi UU Penyiaran adalah bentuk diskriminasi atau intimidasi yang dilakukan pemerintah terhadap jurnalis.
“Selaku jurnalis yang akan melakukan investigasi untuk membongkar kebohongan dan korupsi, dengan tegas kami dari ikatan jurnalis televisi menolak revisi undang-undang penyiaran,” cetus Aso.
Wakil Ketua Bidang Media Siber PWI Kaltim, Dirhanuddin, menambahkan bahwa jika undang-undang ini diterapkan, akan ada kepentingan politisi yang semakin membuat jurnalis ketar-ketir.
“Kalau undang-undang penyiaran ini hadir dalam bentuk membatasi ruang kerja jurnalistik, tentu yang dirugikan adalah masyarakat karena terbatasnya ruang informasi. Perjuangan jurnalis ini sebenarnya untuk kepentingan publik,” tambahnya.
Ketua Aji Kota Samarinda, Noffiyatul Chalimah, menegaskan bahwa seluruh insan pers telah menentukan sikap menolak revisi UU Penyiaran ini.
“Banyak jurnalis yang melakukan liputan investigasi dan kalau ini diteruskan, akan mengancam kerja-kerja kita, apalagi Kaltim luas. Maka dari itu, kami bersolidaritas dan melawan,” tegasnya. (AUL)